ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
ilustrasi |
Super Sekali!!!
Inilah 5 Pesepak Bola Legendaris yang pernah berseragam Klub Persija
Persija
Jakarta menjadi tim
tersukses dalam sejarah sepak bola Indonesia. Bukti tersebut tersaji dalam
torehan 10 gelar juara kompetisi elite PSSI, baik di era Perserikatan hingga
kini Liga Indonesia.
Semenjak
berdiri pada 28 November 1928, klub yang awalnya bernama VIJ (Voetbalbond Indonesische Jacatra) menjadi bertemunya pemain-pemain berbakat dari penjuru Jakarta dan
Indonesia.
Di era VIJ bond
yang jadi salah satu penggagas berdirinya PSSI itu pernah diperkuat oleh Soemo
dan Abidin. Kedua nama itu menjadi pemain yang mahsyur pada eranya. Lanjut di
era 1950-an, Persija banyak diisi pemain dengan teknik tinggi buah hasil
bergabungnya klub-klub anggota VBO ke Persija.
Lain lagi
dengan era 1960-an, dimana Tim Macan Kemayoran memetik gelar juara dengan
tenaga-tenaga anak muda. Kala itu, kompetisi internal Persija bisa dibilang
menjadi kompetisi amatir terbaik dengan banyak menghasilkan pemain-pemain
legendaris. Soetjipto Soentoro salah satunya.
Era emas, alias
1970-an, nama Persija seakan sudah menjadi jaminan mutu. Bukan hanya karena
sebagai salah satu klub elite yang merajai kompetisi elite Perserikatan Tanah
Air, tetapi juga sebagai pemasok pemain Timnas Indonesia terbanyak pada era
itu.
Sebagai tim
besar yang lahir di Ibu Kota, Persija sudah pasti menjadi barometer
pemain-pemain sepak bola yang ada di Indonesia. Di usianya yang sudah mencapai
87 tahun, tentu saja Persija mempunyai pemain legendaris sejak tempo dulu
hingga sekarang.
Bola.com menampilkan
lima pemain yang dinilai punya pengaruh besar dalam perjalanan sejarah kejayaan
Persija Jakarta:
Tan Liong Houw
Tan Liong Houw
yang berdarah Tionghoa dengan nama pribumi, Latief Harris Tanoto, merupakan
pemain spesial dalam perjalanan panjang Persija. Tan Liong Houw yang besar di
Jakarta merupakan salah satu legenda klub yang dicintai pendukung Tim Macan
Kemayoran pada masanya.
Tan Liong Houw
muda mengembangkan bakat sepak bolanya melalui klub Chung Hua atau yang
sekarang dikenal dengan nama PS Tunas Jaya. Bakat sepak bolanya lahir dari
ayahnya yang juga pembesar klub Chung Hua, yakni Tan Chin Hoat.
Akan tetapi,
berbeda dengan ayahnya yang piawai sebagai pemain bek kiri, pesepak bola
kelahiran lahir di Surabaya, 26 Juli 1930 tersebut, memilih untuk menjadi
seorang gelandang. Kemampuannya sebagai pengontrol pertandingan tidak usah
diragukan lagi, karena dalam usia yang cukup muda, Tan Liong Houw sanggup
menjadi pemimpin tim Persija dan juga Indonesia.
Yang unik, Tan
Liong Houw punya ciri khas yang gampang dikenali. Hal itu tampaknya menurun
dari sang ayah. Jika Chin Hoat gemar mengalungkan handuk di pundaknya saat
bermain, maka Tan Liong Houw pun selalu mengikatkan handuk di tangan kirinya.
Dengan begitu, penonton pun mengenali Tan Liong Houw di lapangan dari
penampilannya.
Pemain Persija
Jakarta, Tan Liong Houw, bersalaman dengan Perdana Menteri India, Jawaharlal
Nehru. (Bola.com/Persija.co.id)
Kisah
percintaan Tan Liong Houw dengan Persija bermula saat Chung Hua memutuskan
keluar dari perkumpulan Voetballbond Batavia en Omstraken (VBO) dan
memilih masuk ke Persija pada tahun 1951.
Bersama dengan
UMS dan juga BBSA, Chung Hua menjadi pelopor klub anggota VBO yang menyeberang
ke Persija. Hal itu tentubukan keputusan yang mudah, mengingat VBO dan VIJ
(nama sebelum Persija) kerap beradu gengsi dalam urusan kompetisi di Tanah
Betawi.
Namun, masuknya
Chung Hua, UMS dan BBSA menjadi keuntungan tersendiri bagi Persija. Pasokan
pemain berkualitas dari kompetisi VBO menjadi senjata utama Persija di
kompetisi PSSI setelah era awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Tan Liong Houw
muda pun serta merta masuk ke dalam tim Persija melalui klub Chung Hua. Bersama
Wim Pie, Tan Liong Houw menjadi wakil klub etnis Tionghoa yang bermarkas di
Taman Sari itu di Persija.
Bermodal gaya
permainannya yang berani, mampu menjelajah ke setiap area dan bernafas layaknya
kuda, Tan Liong Houw pun didapuk menjadi pemimpin Persija di lapangan.
Kehadiran Tan Liong Houw sebagai kapten menjadi simbol kemenangan Chung Hua
atas rival abadinya, UMS, yang juga banyak memasok pemain untuk Persija.
Dari gaya
bermainnya itu, pendukung Persija era itu pun jatuh cinta dengan Tan Liong
Houw. Pendukung Persija pun memberikan julukan Macan Betawi atau Macan Jakarta.
Julukan yang sangat spesial, karena secara etnis Tan Liong Houw bukanlah orang
Betawi.
Pemain Tim
Nasional Indonesia, Tan Liong Houw, digendong rekan-rekannya saat mengangkat
piala usai meraih gelar Merdeka Games 1961. (Bola.com/Buku PSSI)
Tan Liong Houw
menyumbangkan gelar juara Perserikatan untuk Persija pada tahun 1954. Saat itu
Persija bersua PSMS Medan. Dalam final yang tergolong keras itu, Tan
Liong Houw bermain apik dengan menjadi pengatur permainan Persija.
Selepas lesakan
gol dari Van der Berg dan Kwee Hong Sing, Tim Ayam Kinantan walk out menolak
melanjutkan pertandingan karena merasa laga berjalan sangat keras dan wasit
tidak tegas.
Terlepas dari
kontroversi yang mencuat pada partai puncak, Tan Liong Houw berhasil membawa
Persija berpesta di Stadion Ikada setelah pada tahun-tahun sebelumnya gagal
meraih gelar juara.
Kiprah Tan
Liong Houw di Timnas Indonesia juga tak kalah mentereng. Bersama Tim Garuda,
Tan Liong Houw pernah merasakan menahan tim kuat dunia, Uni Soviet, 0-0 di
Olimpiade Melbourne 1956.
Bahkan, dirinya
mempersembahkan gelar juara untuk Indonesia dalam pergelaran Merdeka
Games tahun 1961 di Malaysia.
Yang menarik,
Tan Liong Houw menjadi pemain paling senior di Tim Merah-Putih. Ia didaulat
sebagai kapten tim yang saat itu banyak diisi pemain dari Persib Bandung,
seperti: Wowo, Rukma, atau Fattah Hidayat.
Sayangnya, Tan
Liong Houw gagal berprestasi di pengujung kariernya bersama timnas. Ia tidak
sukses mendapatkan medali di ajang terakhirnya bersama Indonesia pada Asian
Games 1962.
Timnas
Indonesia saat meraih gelar juara Merdeka Games 1961 dengan kapten Tan Liong
Houw. (Bola.com/Dokumentasi Merdeka)
Sinyo Aliandoe
Nama
Sinyo Aliandoe lebih dikenal
publik sepak bola nasional sebagai pelatih sukses yang hampir meloloskan Timnas
Indonesia ke Piala Dunia Meksiko 1986. Saat masih jadi pemain, pria kelahiran
Larantuka, Flores Timur, 1 Juli 1940 tersebut amat mahsyur di Persija Jakarta.
Memulai bermain
di level senior bersama PS Maesa, yang juga klub anggota Persija, Sinyo muda
yang amat berbakat langsung bersinar di pentas kompetisi internal Jakarta.
Sinyo memikat
hati pelatih kepala Persija yang saat itu dijabat oleh drg. Endang Witarsa. Selain
Sinyo, ada pemain muda lainnya Soetijipto Soentoro yang tampil memesona di
kompetisi internal Macan Kemayoran.
Sinyo Aliandoe,
sebagai pelatih Persija juara perserikatan 1973 dan 1975. (Bola.co/Dokumentasi
Berita Buana)
Endang Witarsa,
yang akrab dipanggil dengan sebutan Pak Dokter, melihat ada hal spesial dari
diri Sinyo, yang berposisi sebagai gelandang tengah. Tak hanya memiliki skill
bagus, Sinyo punya etos pekerja keras di lapangan. Gaya ini amat disukai sang
mentor.
Sinyo yang saat
direkrut Persija statusnya sudah pindah ke klub Indonesia Muda, menjadi salah
satu pemain andalan Macan Kemayoran di kancah Perserikatan.
Sinyo jadi
andalan di formasi 4-2-4 racikan Pak Dokter. Permainannya licin bagai belut
plus fisiknya amat prima. Ditopang oleh pemain berkualitas lainnya seperti
Tahir Yusuf dan Soetjipto Soentoro, jadilah Persija tim ofensif yang menakutkan
kubu lawan.
Hasilnya, di
usia 24 tahun, Sinyo sudah merasakan manisnya gelar juara Perserikatan. Gelar
yang istimewa bagi Persija, karena mereka juara tanpa terkalahkan dengan materi
pemain-pemain muda berkat tangan emas Endang Witarsa.
Sayangnya
karier sebagai pemain Sinyo tak berlangsung lama. Di usia yang masih tergolong
muda, Sinyo harus pensiun dini dari lapangan sepak bola. Cedera parah patah
kaki membuat Sinyo menghentikan aktivitasnya sebagai pemain pada tahun 1969.
Tetapi,
ternyata Tuhan punya rencana lain bagi Sinyo. Cukup sukses sebagai pemain di
Persija, pria yang lahir di Flores pada 1 Juli 1940 itu mulai mendalami ilmu
kepelatihan di Manchester, Inggris.
Kepergian Sinyo
belajar ilmu pelatih di Inggris tak lepas dari campur tangan pemilik klub
Jayakarta dan manajer tim Persija, F.H. Hutasoit. Kariernya sebagai pelatih di
Persija Jakarta dimulai pada 1973.
Pada musim
perdananya Sinyo membawa Persija juara kompetisi Perserikatan. Gelar keenam
sepanjang sejarah klub.
Berbekal materi
pemain yang mumpuni, ditambah karakter Sinyo yang penuh perhitungan, menjadikan
penggawa Macan Kemayoran menjelma jadi tim yang amat superior. Gelar juara Perserikatan
mengakhiri dahaga panjang prestasi selama 10 tahun tanpa gelar.
Sinyo Aliandoe,
hampir meloloskan Indonesia ke putaran final Piala Dunia 1986 Meksiko. (Repro)
Hebatnya, dua
tahun berselang Sinyo kembali mengantar Persija jadi tim terbaik di Tanah Air.
Walau ada catatan. Gelar juara di tahun itu bukan hanya milik Persija, tetapi
juga PSMS Medan.
Jakarta dan
Medan menjadi juara bersama setelah keduanya menolak meneruskan pertandingan
karena kecewa dengan kepemimpinan wasit asal Malang, Mahdi Thalib. Gara-gara
pengadil yang tak tegas, keributan besar antar pemain sempat pecah di tengah
lapangan Stadion Utama Senayan (nama lama Stadion utama Gelora Bung Karno).
Torehan dua
gelar di Persija membuat karier Sinyo kian menanjak. Ia mendapat tantangan menukangi
Timnas Indonesia. Karakter tegas dan disiplin ala Sinyo membuat mental penggawa
Tim Garuda berubah drastis. Kepiawaianmua dalam meracik taktik dan strategi
sangat berpengaruh kepada hasil akhir pertandingan.
Di bawah
kendali Sinyo, Indonesia nyaris melangkah ke putaran final Piala
Dunia 1986. Di fase
terakhir penyisihan zona Asia Tim Garuda, kalah dari Korea Selatan dengan skor
2-0 di Seoul dan 4-1 di Jakarta.
Sinyo Aliandoe
saat menyaksikan laga penutup Persija Jakarta vs Barito Putera ISL musim 2014
di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta
Sinyo sempat
kembali ke klub yang membesarkannya Persija pada musim 1999. Sayang, kali ini
ia kurang beruntung. Dirinya lengser setelah serangkaian hasil buruk Macan
Kemayoran di pentas Liga Indonesia. Ia pun diganti oleh pelatih asal Bulgaria,
Ivanko Kolev.
Menjelang akhir
hayatnya, Sinyo masih bersentuhan dengan sepak bola dan Persija. Ia dengan
tekun melatih PS Setia, yang merupakan klub Internal Persija. Sang legenda
tutup usia pada Rabu 18 November 2015.
Soetjipto Soentoro
Nama Soetjipto
Soentoro selalu dikenang di dunia sepak bola Indonesia. Ia salah satu striker
top pada masanya. Pria yang lahir di Bandung, Jawa Barat, 16 Juni 1941 ini
besar di daerah Gandaria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Perkenalan
Gareng (sapaan Soetjipto) dengan sepak bola terjadi saat ia memainkan si kulit
bundar di pinggir jalanan Gandaria. Bakatnya alamnya tak sengaja ditemukan oleh
klub internal Persija, PS Setia (yang memang bermarkas di daerah Gandaria),
saat mereka bertanding melawan klub IPPI Kebayoran di Lapangan Blok A
Kebayoran, Jakarta Selatan.
Di usia muda,
Gareng sudah dikenal banyak orang. Terutama publik Stadion Persija di Menteng,
yang rajin menonton aksi-aksi Gareng saat bermain bersama PS Setia.
Soetjipto
Soentoro, menikmati kegembiraan usai mengantar Persija Jakarta juara kompetisi
perserikatan 1964. (Bola.com/Dokumentasi Aneka)
Wuwungan,
pelatih Persija di tahun 1956 melihat bakat besar Gareng langsung menariknya ke
tim senior. Tentu saja, hal itu cukup mengejutkan, apalagi beberapa rekan
seangkatan Gareang harus melewati seleksi di tim Persija U-18 sebelum melangkah
ke tim utama.
Di tim senior
Persija kala itu, Gareng sempat bermain dengan kakaknya, yakni Soegito yang
juga berasal dari klub PS Setia.
Gareng mungkin
masih sangat muda, 16 tahun, saat berkostum Persija, tapi di usianya itu ia
langsung dipercaya sebagai pemain yang cukup vita di Macan Kemayoran. Ia
bermain bersama pemain-pemain senior Persija yang sebagian menjadi anggota tim
juara tahun 1954 seperti R. Parengkuan, Wim Pie, Chris Ong, Giok Po dan juga
Tan Liong Houw.
Seiring
prestasi Persija yang mulai surut di era 1950-an akhir, pengurus inti Persija
mulai berfikir untuk melangsungkan regenerasi. Perlahan-lahan mereka memasukan
pemain muda dari U-18 Persija, seperti Kwee Tek Liong atau Nunung.
Setelah
Wuwungan lengser dari jabatan pelatih, Tim Macan Kemayoran mulai membangun tim
muda di bawah kendali drg. Endang Witarsa (Liem Soen Joe). Di tangan Pak
Dokter, Persija kembali menjelma menjadi tim yang ditakuti lawan.
Dokter yang
maniak dengan pola 4-2-4 menjadikan Gareng sebagai penyerang bayangan yang
bertugas menggedor pertahanan lawan dari lini kedua. Dirinya menjadi andalan
dalam urusan menjebol gawang musuh.
Bersama Tahir
Yusuf dan Sinyo Aliandoe, Gareng juga sering dirotasi bermain di sektor
gelandang. Ketika menyerang, Gareng biasanya berkolaborasi dengan Didik Kasmara
dan Dominggus.
Hasilnya, di
kompetisi Perserikatan tahun 1964, Persija berhasil keluar sebagai juara tanpa
satu pun menderita kekalahan. Gelar tim asal ibu kota itu terasa sangat lengkap
karena Gareng jadi pencetak gol terbanyak. Ia menggelontorkan 16 gol selama
kompetisi berlangsung.
Prestasi Gareng
di Timnas Indonesia pun tak kalah mentereng. Jika di Persija ia hanya merasakan
satu gelar, di timnas Gareng merasakan beberapa kali juara.
Pada tahun 1966
bersama timnas ia sukses menjuarai Piala Aga Khan di India. Karena tampil bagus
di Aga Khan, Gareng diangkat menjadi kapten oleh Endang Witarsa, yang naik
kelas jadi nakhoda Timnas Indonesia. Soetjipto Soentoro pun jadi pahlawan di
Piala Raja Thailand tahun 1968. Ia mencetak gol tunggal ke gawang Myanmar.
Gareng sempat
pindah ke PSMS Medan pada kompetisi 1968-1969. Ia bersama pemain Persija
lainnya, yakni Yudo Hadiyanto dan
Iswadi Idris, menyeberang ke Ayam Kinantan melalui klub Pardedetex. Saat ia dan kedua rekannya hijrah ke PSMS, beberapa media di Jakarta sempat menyebutnya kacang lupa kulit.
Iswadi Idris, menyeberang ke Ayam Kinantan melalui klub Pardedetex. Saat ia dan kedua rekannya hijrah ke PSMS, beberapa media di Jakarta sempat menyebutnya kacang lupa kulit.
Namun, tak
bertahan lama ia beserta Yudo dan Iswadi kembali ke Persija pada Peserikatan
edisi tahun 1971. Di tahun itulah, Gareng memutuskan untuk pensiun dari sepak
bola. Ia mengakhiri karier sepak bolanya di tim yang membesarkan namanya.
Tapi sayang,
Gareng gagal mempersembahkan gelar juara di tahun terakhirnya bersama Persija.
Macan Kemayoran harus puas melihat PSMS berpesta di Stadion Utama Senayan.
Iswadi Idris
Bakat sepak
bola anak-anak Jakarta di era 1960 hingga 1970-an berlimpah ruah. Persija
Jakarta tidak pernah
kekurangan stok pemain berkualitas hasil cetakan klub-klub internalnya.
Gandaria,
Kebayoran Baru, menelurkan Soetijpto Soentoro. Daerah Tanah Abang menjadi
tempat Djamiat Dalhar memulai karier di Persija. Lalu, kawasan Petak Sinkian
dan Taman Sari sudah pasti diisi oleh anak-anak berbakat UMS dan Tunas Jaya.
Kawasan Kramat,
Senen, Jakarta Pusat juga tak mau kalah dengan melahirkan Iswadi Idris untuk
Persija. Lahir di Banda Aceh, 18 Maret 1948, Iswadi malah tumbuh besar di
Jakarta, tepatnya di Kramat Lima.
Sejak kecil,
Iswadi memang menyukai sepak bola. Untuk menyalurkan bakatnya ia bergabung
dengan Merdeka Boys Football Association (MBFA) di Lapangan Banteng, Jakarta.
Suasana
perpisahan Iswadi Idris, sebelum dirinya pindah ke Australia pada tahun 1973.
(Bola.com/Dokumentasi Merdeka)
MBFA yang masih
klub internal Persija, menjadi wadah Iswadi belajar mengolah bola. Setelah
melihat Indonesia Muda (IM) latihan di lapangan kosong di daerah Taman Ismail
Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Iswadi pun pindah ke klub legendaris. Alasannya
sepele karena lokasi latihan lebih dekat dengan rumahnya.
Iswadi secara
resmi masuk tim utama Persija pada tahun 1966 setelah tampil mengkilap bersama
IM. Karena dasarnya berbakat, tak butuh waktu lama bagi Iswadi untuk bisa
menembus posisi inti. Boncel (sapaan Iswadi) juga cepat mentas ke Timnas
Indonesia.
Di skuat
Garuda, banyak gelar yang ia persembahkan. Sebut saja Merdeka Games 1969, Piala
Anniversary 1972, dan Pesta Sukan (1972). Sedangkan bersama Persija, prestasi
Iswadi juga menawan.
Tahun 1973,
Iswadi turut mengantarkan Persija menjadi juara kompetisi Perserikatan PSSI.
Performanya yang apik saat menjalani tur Australia bersama Persija, membuat
klub Australia, Western Suburbs tertarik.
Pertandingan
antara IM melawan Persija di Stadion Persija, Menteng, Jakarta, 1973. Laga
persahabatan dua tim yang pernah dibela Iswadi Idris ini dilakukan sebagai
perpisahan sebelum dirinya pindah ke Western Suburbs. (Bola.com/Dokumentasi
Merdeka)
Ia pun berpisah
sementara dengan Persija. Karena begitu bekennya nama Iswadi, sebuah laga
seremoni perpisahan yang dilangsungkan di Stadion Menteng. Indonesia Muda
sebagai klub amatir Iswadi bertanding dengan Persija.
Sepulang dari Australian,
Iswadi hijrah ke klub elite anggota Persija yang bermain di pentas Galatama,
yakni Jayakarta. Tahun 1975, Iswadi mempersembahkan gelar juara kedelapan buat
Macan Kemayoran. Sayangnya Iswadi tak mampu mempertahankan gelar juara untuk
Persija di tahun 1977.
Tahun 1978
merupakan tahun terakhir Iswadi membela Persija. Dalam kompetisi PSSI
1978-1979, nama Iswadi sempat dibawa oleh pelatih Marek Janota. Namun sikapnya
yang keras dan komunikasi yang buruk dengan sang pelatih, membuat dirinya
dicoret dari Tim Kemayoran. Iswadi secara resmi pensiun dari klub yang
membesarkannya pada tahun 1980.
Bambang Pamungkas
Bambang
Pamungkas adalah legenda Persija di masa modern. Penyerang kelahiran Semarang,
Jawa Tengah, 10 Juni 1980 ini pernah mengantarkan Macan Kemayoran menjadi juara
Liga Indonesia edisi 2001. Pencapaian yang belum bisa kembali diulang hingga
era Indonesia Super League saat ini.
Bambang
mengawali karier junior di tim Persikas Kabupaten Semarang. Ia kemudian lolos
seleksi di Diklat Salatiga. Di diklat ini nama Bepe mulai bersinar.
Pada tahun
1999, ia masuk skuat Timnas Indonesia U-19 asuhan Bernard Schum untuk ajang Pra
Olimpiade, Atena 2000.
Lepas dari
membela Timnas, Bambang
Pamungkas langsung
didekati Persija. Manajer Tim Merah-Putih, IGK Manila, yang ditunjuk sebagai Chief
de Mission Persija, melakukan lobi hati ke hati ke penyerang dengan ciri
khas nomor punggung 20 itu.
Kapten Persija,
Bambang Pamungkas berlatih jelang laga Piala Presiden melawan Persita di
Lapangan Trisakti, Bali, Rabu (2/9/2015). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)
Bepe bergabung
ke Persija pada tahun 1999, setelah lulus dari Diklat Salatiga. Di musim
pertamanya, BP menggila dengan menggelontorkan banyak gol untuk Persija. Total
di musim 1999 dan 2000, Cah Getas mengemas 24 gol.
Tampil bagus
bersama Persija di pertengahan tahun 2000, Bepe mencoba peruntungannya di klub
Belanda, EHC Norad. Ia bertualang ke Negeri Kincir Angin selama setengah tahun.
Keunggulan Bepe
sebagai penyerang adalah ia amat kuat dalam duel bola-bola udara. Selain itu,
ia punya kedua kaki yang sama bagus untuk melakukan shooting. Bambang pemain
yang cerdas dalam penempatan posisi.
Setelah
berkiprah di EHC Norad, Bepe pulang ke Persija. Berguru di tanah Total
Football, ia diharapkan bisa membawa Persija menjadi juara Liga Indonesia
yang kala itu disponsori Bank Mandiri.
Di bawah asuhan
Ivanko Kolev, Persija tampil menawan di babak reguler. Sayang begitu masuk
babak 8 besar anak-anak Macan Kemayoran melempem.
Belajar dari
kegagalan pada musim 2001, Persija pun berbenah. Dengan sokongan dana berlimpah
dari Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso (yang berstatus sebagai Pembina Persija),
Tim Macan Kemayoran membangun The Dream Team di bawah komando pelatih
lokal, Sofyan Hadi.
Bambang
Pamungkas tampil on-fire di musim 2001. Ia bermain seperti titisan
Soetjipto Soentoro, striker legendaris Persija yang amat haus gol.
Selain membawa
Persija juara dengan mengalahkan PSM Makassar 3-2 dalam laga puncak yang
digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Bepe juga menjadi Pemain
Terbaik kompetisi. Selain itu ia juga unjuk produktivitas dengan torehan 24
gol.
Sayangnya sinar
kebintangan Bambang Pamungkas tak menular ke Timnas Indonesia. Jadi pelanggan
tetap lini depan Tim Merah-Putih selama 12 tahun, ia tak mempersembahkan
prestasi apa-apa.
Meski demikian,
ia menjadi pemain dengan koleksi jam terbang terbanyak di Timnas Indonesia, yakni
85 pertandingan dengan sumbangsih 37 gol. Bepe menepi dari timnas seusai tampil
di Piala AFF 2012. Ia memilih fokus membela klub yang dicintainya.
Sebuah
keputusan kontroversial dibuat penyerang kelahiran 10 Juni 1980 pada musim
2014. Ia memutuskan pindah ke Pelita Bandung Raya, setelah semusim sebelumnya
memilih menganggur. Ia menolak tawaran kontrak manajemen Persija, karena kasus
tunggakan gaji ke pemain.
Pada musim 2015
lalu, bomber pengidola klub Italia, Internazionale Milan, kembali ke Persija Jakarta.
Sayangnya kompetisi Indonesia Super League berhenti mendadak imbas konflik PSSI
dengan Kemenpora.
Ia sempat
tampil membela Persija di turnamen Piala Presiden 2015. Setelah itu ia
memutuskan menepi dari lapangan hijau, menunggu konflik mereda. The Jakmania,
kelompok pendukung Persija, berharap Bambang
Pamungkas kembali
membela Persija di kompetisi Indonesia Soccer Championship 2016. Sang pemain
yang juga jadi Wakil Presiden Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia
(APPI) belum memberi keputusan.
sumber:www.bola.com
0 Response to "Super Sekali!!! Inilah 5 Pesepak Bola Legendaris yang pernah berseragam Klub Persija"
Posting Komentar