ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
JENDERAL HEBAT KOPASSUS |
mengesankan!!!ternyata indonesia punya 5 Jenderal Kopassus yang Sangat Fenomenal dan sangat hebat
Komando Pasukan Khusus (Kopassus) baru saja selesai
merayakan hari jadinya yang ke-63. Dalam acara puncak yang berlangsung pada 29
April lalu, Kopassus menggandeng kembali bekas musuhnya di medan tempur Aceh
maupun Timor Timur.
Terbentuknya Kopassus tak lepas dari keinginan
Panglima Teritorium Kolonel Alex Evert Kawilarang yang menganggap perlunya
pasukan kecil, namun efektif untuk melakukan penyusupan. Pandangan ini
terngiang di benaknya saat melihat pasukan reguler tak mampu bergerak di
medan-medan yang sangat berat.
Berkat usahanya, Kesatuan Komando Tentara Territorium
III/Siliwangi (Kesko TT) terbentuk. Muhammad Idjon Djanbi pun diangkat menjadi
komandan sekaligus pelatih pertama.
Setelah berkali-kali berganti nama, mulai dari Kesko
TT hingga Kopassandha, 27 orang perwira telah ditunjuk menjadi komandan
Kopassus. Beberapa lulusan Kopassus pun sempat menjadi sosok yang fenomenal dan
berpengaruh di TNI maupun Indonesia. Berikut jenderal-jenderal kopassus paling
fenomenal versi merdeka.com:
Muhammad Idjon Djanbi
Sejatinya, nama Idjon Djanbi adalah pendiri, pelatih
pertama sekaligus komandan pertama korps pasukan elite TNI AD yang kini bernama
Kopassus. Mantan anak buah Idjon Djanbi yang pernah dilatihnya mengenang sosok
Idjon sebagai perwira lapangan yang disiplin. Sosoknya langsing dan gesit.
"Pak Idjon suka cek kalau kita jaga malam. Dia
sergap dari belakang dengan pisau. Kita berkelahi dulu, baru dia bilang stop,
ini komandan kamu. Tujuannya mungkin biar kita siaga," kata Boyoh, mantan
anggota angkatan pertama korps baret merah ini saat berbincang dengan
merdeka.com.
Idjon Djanbi awalnya bernama Rokus Bernandus Visser.
Warga negara Belanda ini bergabung dengan tentara Belanda yang mengungsi ke
Inggris. Dia pernah bergabung dalam operasi Market Garden yang dilakukan sekutu
untuk merebut Belanda tahun 1944. Setelah itu Visser ikut melakukan operasi
amphibi bersama pasukan sekutu.
Karena prestasinya, Visser naik pangkat jadi letnan.
Pemerintah Belanda mengirimnya ke Indonesia ketika Jepang kalah dan Belanda
ingin berkuasa kembali. Visser menjadi komandan sekolah terjun payung Belanda
di Indonesia dengan pangkat kapten.
Setelah perang usai, Visser yang sejak awal bersimpati
pada Indonesia memilih pensiun sebagai serdadu. Dia menikah dengan seorang
wanita Sunda, kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Mohammad Idjon
Djanbi.
Sekitar tahun 1952, Komandan Teritorium Siliwangi
Kolonel Alex Evert Kawilarang bercita-cita mendirikan sebuah pasukan elite
untuk menumpas DI/TII. Saat itu pasukan reguler sulit bergerak lincah di hutan
Jawa Barat yang masih sangat lebat. Kawilarang pun memanggil Idjon Djanbi dan
memaparkan rencananya, sekaligus meminta Idjon menjadi pelatih. Idjon menerima
tawaran itu.
"Ternyata dia terima ajakan kami. Dan kemudian
kami atur, sehingga dia bisa mendapat pangkat mayor. Selang beberapa waktu,
setelah dia bergaul dengan anggota-anggota kita, dia kelihatan merasa
betah," ujar Kawilarang dalam biografi 'Untuk Sang Merah Putih' yang
ditulis Ramadhan KH.
Idjon Djanbi menyusun kurikulum berdasarkan
pengalamannya selama menjadi pasukan elite dan bertempur di Perang Dunia II.
Latihan pasukan yang diberi nama Kesatuan Komando TT III Siliwangi ini sangat
berat. Dari 400 calon siswa komando, kurang dari setengah yang dinyatakan
lulus.
Kepada mereka yang lulus, diberikan baret dan brevet
komando. Ketika itu baret warna hitam dicelup dalam air teh beberapa lama
sehingga warnanya luntur menjadi coklat kemerahan. Itulah cikal bakal Korps
Baret Merah.
"Tahun 1953 kompi komando ini diikutsertakan
dalam operasi-operasi menghancurkan DI/TII di daerah Jawa Barat. Hasilnya
sangat memuaskan, terutama pada penyergapan konsentrasi gerombolan di Gunung
Rakutak," kata Kawilarang. Idjon menjabat komandan tahun 1952-1956,
setelah itu dia pensiun dan digantikan wakilnya Mayor RE Djailani.
Sarwo Edhie Wibowo
Pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah merupakan putra
dari keluarga PNS yang bekerja untuk Kolonial Belanda. Saat ia tumbuh, Sarwo
Edhie membentuk kekaguman terhadap Tentara Jepang dan kemenangan mereka melawan
Pasukan Sekutu yang ditempatkan di Pasifik dan Asia.
Ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi
ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA),
yang merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia.
Namun, ia kecewa karena tugas pertamanya sebagian besar hanya memotong rumput,
membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang.
Selama berlatih, Sarwo menggunakan senjata kayu.
Setelah Proklamasi dibacakan, Sarwo kemudian bergabung dengan BKR, sebuah
organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.
Kedekatannya dengan Ahmad Yani membuat mimpinya untuk
menjadi tentara kembali menggelora. Apalagi, Yani mengajaknya untuk bergabung
dengan batalionnya di Magelang, Jawa Tengah. Selama di TNI, karier Sarwo Edhie
sangat bersinar. Dia pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro
(1945-1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953), Wakil Komandan
Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Resimen Pasukan
Komando (1962-1964), dan Komandan RPKAD (1964-1967).
Jabatan terakhir ini diembannya berkat bantuan Ahmad
Yani. Ketika itu, Yani yang telah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan
menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD. Maka,
diangkatlah Sarwo Edhie sebagai komandannya.
Tugas pertama yang dilakukan Sarwo Edhie dan
pasukannya adalah mengangkat jenazah yang dibunuh PKI dalam peristiwa G30S.
Kemudian, dia bergerak untuk membasmi organisasi tersebut Jawa Tengah. Akibat
tugas itu, di hadapan DPR tahun 1989, Sarwo Edhie mengaku peristiwa tersebut
telah menewaskan 3 juta orang.
Prabowo Subianto
Lulus dari Akademi Militer Magelang pada 1974, Prabowo
Subianto langsung bergabung bersama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha).
Dua tahun setelahnya, Prabowo ditugaskan sebagai Komandan Pleton Grup I sebagai
bagian dari operasi Tim Nanggala di Timor Timur (sekarang Timor Leste) saat
usianya masih 26 tahun.
Meski menjabat sebagai komandan termuda, tugas berat
dipegang Prabowo selama menjalani pertempuran di Timor Timur. Dia dan
pasukannya diperintahkan untuk menangkap wakil ketua Fretilin sekaligus Perdana
Menteri pertama Timor Timur Nicolau dos Reis Lobato.
Berkat upaya dan pendekatannya terhadap keluarga
Nicolau, Prabowo berhasil mendeteksi keberadaannya di Maubisse, lima puluh
kilometer di selatan Dili. Nicolau tewas setelah tertembak di perut saat
bertempur di lembah Mindelo pada 31 Desember 1978.
Pretasi gemilangnya tak terhenti sampai di sana, tugas
berikutnya yang diberikan pun berhasil diselesaikan dengan baik. Dia dan
pasukan berhasil menangkap Xanana Gusmao saat menyandang pangkat letnan
kolonel. Keberadaan Xanana diperoleh dari sadapan telepon Ramos Horta di
pengasingan.
Berkat prestasinya, Prabowo dipercaya sebagai Wakil
Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus pada 1983. Setelah
menyelesaikan pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning, Amerika
Serikat, Prabowo diberi tanggungjawab sebagai Komandan Batalyon Infanteri
Lintas Udara.
Silahkan lanjut baca
Pada 1995, ia sudah mencapai jabatan Komandan Komando
Pasukan Khusus, dan hanya dalam setahun sudah menjadi Komandan Jenderal Komando
Pasukan Khusus. Prabowo pula yang mengirim Tim Nasional Indonesia untuk
mengibarkan Merah Purih di Puncak Gunung Everest pada 26 April 1997.
Ekspedisi dimulai pada tanggal 12 Maret 1997 dari
Phakding, Nepal.Sukses memimpin Kopassus, Prabowo diserahi tugas sebagai
Pangkostrad yang membawahi pasukan cadangan ABRI yang jumlahnya mencapai
sekitar 11 ribu prajurit. Saat itu, Prabowo dimintai pertolongan oleh Panglima
Kodam Jaya untuk mengamankan Jakarta. Permintaan ini dipenuhi Prabowo dengan
membantu mengamankan sejumlah bangunan penting, khususnya rumah dinas Wakil
Presiden BJ Habibie di Kuningan.
Jabatan Pangkostrad terpaksa dilepasnya karena
diberhentikan oleh Presiden Habibie pada 22 Mei 1998. Penghentian itu tak lepas
dari keputusan Prabowo yang menggerakkan pasukan Kostrad dari berbagai daerah
menuju Jakarta di luar komando resmi Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Posisi Prabowo kemudian digantikan oleh Johny
Lumintang yang hanya menjabat sebagai Pangkostrad selama 17 jam, dan kemudian
digantikan oleh Djamari Chaniago. Setelah pemecatan tersebut, Prabowo menemui
Presiden Habibie, dan sempat terlibat perdebatan yang sengit.
Setelah itu Prabowo menempati posisi baru sebagai
Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J
Kumaat. Selanjutnya, Prabowo harus menjalani sidang Dewan Kehormatan Perwira
karena Prabowo disinyalir terlibat dalam penculikan aktivis saat masih menjabat
sebagai Danjen Kopassus. 15 Perwira tinggi bintang tiga dan empat mengusulkan
ke Pangab Wiranato agar Prabowo dipecat. Hal itu dianggap sebagai akhir karier
militer Prabowo.
Sintong Panjaitan
Pria asal Tarutung, Sumatera Utara ini semula mencoba peruntungannya
dengan memasuki dunia militer dan melamar ke Akademi Angkatan Udara. Sembari
menunggu kelulusannya, Sintong Panjaitan juga mengikuti ujian masuk Akademi
Militer Nasional dan lulus dengan pangkat letnan dua.
Selanjutnya, Sintong mengikuti sekolah dasar cabang
Infantri dan lulus pada tanggal 27 Juni 1964. Setelah itu, dia ditempatkan
sebagai perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD-kini
Kopassus).
Operasi tempur pertamanya dijalani pada Agustus
1964-Februari 1965 untuk menumpas pergerakan gerombolan DI/TII pimpinan Kahar
Muzakar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Selanjutnya, dia mengikuti pendidikan
dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando AD di Batujajar. Atribut Komando
diperolehnya di Pantai Permisan pada 1 Agustus 1965, dan kembali ke Batujajar
untuk pendidikan dasar Para dan mengalami 3 kali terjun.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Sintong kembali
menerima perintah untuk diterjunkan di Kuching, Serawak, Malaysia Timur sebagai
bagian dari Kompi Sukarelawan Pembebasan Kalimantan Utara dalam rangka
Konfrontasi Malaysia. Pria kelahiran 4 September 1940 ini juga terlibat dalam
penumpasan G30S di bawah pimpinan Lettu Feisal Tanjung
Ketika itu, Sintong memimpin Peleton 1 untuk merebut
kantor pusat Radio Republik Indonesia (RRI), yang memungkinkan Kapuspen-AD, Brigjen
TNI Ibnu Subroto menyiarkan amanat Mayjen TNI Soeharto. Sintong juga turut
serta dalam mengamankan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, dan memimpin anak
buahnya dalam penemuan sumur tua di Lubang Buaya.
Kemudian Sintong dilibatkan dalam tugas operasi
pemulihan keamanan dan ketertiban di Jawa Tengah, untuk memimpin Peleton 1 di
bawah kompi Tanjung beroperasi memberantas pendukung G30S di Semarang, Demak,
Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung
Merapi. Sintong Panjaitan adalah pemimpin Grup-1 Para Komando yang terjun dalam
operasi kontra-terorisme pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla. Operasi ini
dijalankan saat berpangkat letnan kolonel. Walaupun terdapat dua korban jiwa,
operasi itu dinilai sukses, sehingga ia beserta tim-nya dianugerahi Bintang
Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat.
Keterlibatannya dalam operasi militer di daerah Timor
Timur membuat Sintong diangkat menjadi Panglima Komando Daerah Militer
IX/Udayana yang mencakup Provinsi Timor Timur. Namun, Insiden Dili yang terjadi
di pemakaman Santa Cruz, 11 November 1991 membuatnya dicopot. Peristiwa ini
disinyalir menjadi akhir dari karier militer Sintong.
Benny Moerdani
Setelah proklamasi, Leonardus Benyamin Moerdani alias
LB Moerdani terjebak dalam gelombang nasionalisme. Ketika masih berusia 13,
Benny ambil bagian dalam serangan terhadap markas Kempetai di Solo karena
menolak untuk menyerah kepada pasukan Indonesia.
Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk, Benny
bergabung dengan Tentara Pelajar yang berada di bawah otoritas dari Brigade
ABRI. Dari brigade ini, Benny mengambil bagian dalam Revolusi Nasional
Indonesia melawan Belanda, dia berpartisipasi dalam sebuah serangan umum yang
sukses di Solo.
Setelah pengakuan kedaulatan NKRI, pimpinan ABRI
menanggap Brigade Moerdani telah melakukan tugas cukup baik dan para
prajuritnya terus bertugas dengan ABRI. Dia dan pasukannya terdaftar dalam
Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan mulai pelatihan pada bulan
Januari 1951. Pada saat yang sama, Benny juga mengambil bagian dalam Sekolah
Pelatihan Infanteri (SPI).
Kemudian, tepatnya tahun 1954, Benny menerima pangkat
letnan dua dan ditempatkan di TT/III Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa
Barat. Dua terlibat dalam upaya meredakan pemberontakan Darul Islam di bawah
Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (KESKO TT III).
Keberhasilan mereka menarik Markas Besar Angkatan
Darat di Jakarta untuk mendukung pembentukan Satuan Pasukan Khusus. Dengan
demikian, pada tahun 1954, Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) dibentuk.
Benny ditugaskan sebagai pelatih bagi para prajurit yang ingin bergabung dengan
KKAD dan diangkat sebagai Kepala Biro Pengajaran. Pada tahun 1956, KKAD
mengalami perubahan nama menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Tidak lama setelah itu, Benny diangkat menjadi Komandan Kompi.
Setelah itu, berbagai medan pertempuran dijalani
Benny, mulai dari melawan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
di Sumatera, kelompok separatis yang berbasis di Sumatera dan Piagam Perjuangan
Semesta (Permesta) di Sulawesi. Dia pernah diterjunkan ke Papua menjelan
penentuan pendapat, hingga gerilya melawan serdadu Malaysia dan Inggris di
pedalaman Kalimantan.
Pada 1964, Jenderal Ahmad Yani memerintahkan Benny
untuk berpindah dari RPKAD ke Kostrad. Benny menyerahkan komando batalyon RPKAD
nya pada tanggal 6 Januari 1965. Setelah peristiwa G30S, karier militernya
meningkat, Soeharto memberikannya posisi yang membuatnya memiliki banyak
kekuasaan yakni Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan, Asisten
Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), Kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Wakil Kepala
Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).
Pada 1975, Benny menjadi terlibat dengan masalah
dekolonisasi Timor Timur. Bulan Agustus, Benny mengirimkan tentara Indonesia
dengan kedok relawan untuk mulai menyusup ke Timor Timur. Ketika Fretilin
memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur, operasi dihentikan dan berganti
menjadi operasi Seroja dimulai sebagai gantinya.
Meskipun operasi itu bukan sebuah operasi intelijen,
Benny terus terlibat, kali ini sebagai perencana invasi. Metodenya dalam
merencanakan invasi memicu kemarahan dari rekan-rekan karena dilakukan tanpa
sepengetahuan perwira komando tinggi, seperti Wakil Panglima ABRI Surono
Reksodimedjo dan Pangkostrad Leo Lopulisa yang seharusnya terlibat dalam proses
perencanaan.
Maret 1983, Benny ditunjuk sebagai Panglima TNI.
Posisi itu membuatnya secara de facto dalam aspek sosial dan politik di
Republik Indonesia saat itu, setelah Soeharto. Meski begitu, peristiwa Tanjung
Priok pada 1984 membuatnya mendapat stigma negatif. Bersama Panglima Kodam
V/Jaya, Try Sutrisno, keduanya memerintahkan menggunakan kekerasan terhadap
demonstran hingga mengakibatkan kematian.
Benny membela diri bahwa para demonstran telah
terprovokasi dan tidak bisa dikendalikan secara damai dan sebagai hasilnya ia
memerintahkan tindakan keras. Untuk memperbaiki citranya, Benny bersikeras
melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah Muslim di seluruh Jawa.
Sumber :lensaterkini.web.id
0 Response to "mengesankan!!!ternyata indonesia punya 5 Jenderal Kopassus yang Sangat Fenomenal dan sangat hebat "
Posting Komentar